Tiap tanggal 21 April, bangsa Indonesia memperingati salah satu
pahlawannya, yaitu Raden Adjeng Kartini. Ini sesuai dengan tanggal
kelahiran Kartini, Jepara 21 April 1879, dan meninggal di Rembang 17
September 1904 dalam usia yang relatif sangat muda, 25 tahun.
Adalah Presiden RI Pertama Soekarno yang menetapkan pada 2 Mei 1964
melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964, yang
menetapkan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional sekaligus
menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk diperingati
setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari
Kartini.
Wage Rudolf Supratman pencipta lagu kebangsaan Indonesia “Indonesia
Raya” pun mengenang Kartini melalui lagu ciptaannya “Ibu Kita Kartini”.
WR Supratman melukiskannya dengan kata-kata antara lain, “Ibu Kita
Kartini, Putri sejati Putri Indonesia, Harum namanya. Ibu kita Kartini,
Pendekar bangsa, Pendekar kaumnya, Untuk merdeka….”.
Masa Kecil Kartini
RA Kartini adalah seorang pahlawan perempuan Indonesia yang berasal
dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa, puteri Raden Mas
Adipati Ario Sosroningrat, Bupati Jepara.
Sampai usia 12 tahun, Kartini kecil masih diperbolehkan bersekolah di
sekolah tingkat dasar ELS (Europese Lagere School). Di sini antara lain
Kartini belajar bahasa Belanda. Namun setelah usia 12 tahun, ia harus
tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit, seperti pada umumnya
kalangan perempuan jaman penjajahan Belanda kala itu.
Ia tidak diperbolehkan melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih
tinggi oleh orangtuanya. Ia dipingit sambil menunggu waktu untuk
dinikahkan. Kartini kecil sangat sedih dengan hal tersebut. Ia
sebenarnya ingin menentang, tapi tak berani karena takut dianggap anak
durhaka.
Untuk menghilangkan kesedihannya, ia mengumpulkan buku-buku pelajaran
dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman
rumah dengan ditemani pembantunya.
Membaca kemudian menjadi hobinya, tiada hari tanpa membaca. Semua
buku, termasuk surat kabar dibacanya. Kalau ada kesulitan dalam memahami
buku-buku dan surat kabar yang dibacanya, ia selalu menanyakan kepada
ayahnya.
Melalui buku inilah, Kartini kemudian tertarik pada kemajuan berpikir
wanita Eropa (Belanda), yang waktu itu masih menjajah Indonesia.
Timbullah keinginannya untuk memajukan wanita Indonesia. Wanita tidak
hanya di dapur tetapi juga harus mempunyai ilmu.
Ia pun memulai dengan mengumpulkan teman-teman perempuannya untuk diajarkan tulis-menulis dan ilmu pengetahuan lainnya.
Surat-Menyurat
Di tengah kesibukannya, ia tidak berhenti membaca dan juga menulis
surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa
lama ia menulis surat pada Mr.J.H. Abendanon. Ia memohon diberikan
beasiswa untuk belajar di negeri Belanda. Namun, beasiswa yang
didapatkannya tidak sempat dimanfaatkan Kartini karena ia dinikahkan
oleh orangtuanya dengan Raden Adipati Joyodiningrat. Setelah menikah ia
ikut suaminya ke daerah Rembang.
Suaminya pun mengerti dan ikut mendukung Kartini untuk mendirikan
sekolah wanita. Berkat kegigihannya Kartini berhasil mendirikan Sekolah
Wanita di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan
daerah lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”.
Pada tanggal 17 september 1904, Kartini meninggal dunia dalam usianya
yang relatif sangat muda, 25 tahun, setelah ia melahirkan putera
pertamanya.
Setelah Kartini wafat, Mr.J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan
surat-surat yang pernah dikirimkan R.A. Kartini pada para teman-temannya
di Eropa. Buku itu diberi judul “Door Duisternis tot Licht” yang artinya “Habis Gelap Terbitlah Terang”.
Isi suratnya pada awalnya memang seolah menggambarkan bagaimana
keterbelakangan kaumnya pada khususnya, dan situasi pada umumnya era
penjajahan itu.
Kartini mengkritisi bagaimana kungkungan pemuka agama terhadap Islam
itu sendiri. Sehingga ia tidak memiliki cukup pencerahan mengenai
hakikat ajaran Islam yang sebenarnya.
Ia antara lain menuturkannya kepada sahabatnya, Stella Zihandelaar,
melalui surat bertanggal 6 November 1899, RA. Kartini menulis, “Mengenai
agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya
mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama
Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai
agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?
Al-Quran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke
dalam bahasa apa pun, agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak
ada orang yang mengerti Bahasa Arab. Di sini, orang belajar Al-Quran
tapi tidak memahami apa yang dibaca.
Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna
yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghafal Bahasa
Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?
RA. Kartini melanjutkan tulisannya, kali ini dalam surat bertanggal
15 Agustus 1902 ia tujukan kepada kenalannya yang lain, Ny Abendanon.
“Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang
tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca
Al-Qur’an, belajar menghafal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing
yang tidak aku mengerti artinya.
Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah
kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku
berdosa. Kitab ini teralu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa
artinya”.
Hamba Allah
Pandangan Kartini tentang Islam, akhirnya mulai tersingkap setelah ia
berdialog dengan Kyai Sholeh bin Umar dari Darat, Semarang atau yang
lebih dikenal dengan sebutan Kiai Sholeh Darat.
Dalam blog Ajie Najmuddin, ‘Catatan Harian Seorang Integralis’
(2015) diungkapkan, menurut Fadhila Sholeh, cucu Kiai Sholeh Darat,
dirinya mempertemukan Kartini dengan Kyai Sholel Darat. Pertemuan
terjadi dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario
Hadiningrat, yang juga paman Kartini. Saat itu Kyai Sholeh sedang
mengajarkan tafsir Surat Al-Fatihah.
Kyai Sholeh Darat memberikan ceramah tentang tafsir Al-Fatihah.
Kartini merasa terkesan sepanjang pengajian, telinganya menangkap kata
demi kata yang disampaikan sang kyai. Selama ini Kartini hanya tahu
membaca Al-Fatihah, tanpa pernah tahu makna kandungan ayat-ayat itu.
Setelah pengajian, Kartini mendesak pamannya untuk menemaninya
menemui Kyai Sholeh. Akhirnya Kartini pun bertemu dan dialog dengan Kyai
Sholeh.
“Kyai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang
berilmu menyembunyikan ilmunya?” Kartini membuka dialog saat itu.
Kyai Sholeh tertegun, tapi tak lama. “Mengapa Raden Ajeng bertanya demikian?” Kyai Sholeh balik bertanya.
“Kyai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna
surat Al-Fatihah, surat pertama dan ternyata induk Al-Quran. Isinya
begitu indah, menggetarkan sanubariku,” ujar Kartini.
Kartini melanjutkan, “Bukan buatan rasa syukur hati ini kepada Allah.
Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras
penerjemahan dan penafsiran Al-Quran ke dalam Bahasa Jawa. Bukankah
Al-Quran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?”
Pernyataan RA. Kartini itu ternyata menggugah Kyai Sholeh untuk
melakukan pekerjaan besar, menerjemahkan Al-Quran ke dalam Bahasa Jawa.
Namun upaya Kyai Sholeh pada waktu itu terhambat oleh penjajah
Belanda yang secara resmi melarang ulama menerjemahkan Al-Qur’an. Beliau
pun dengan cerdik melanggar larangan ini, dengan tetap menerjemahkan
Al-Qur’an, ya ia tulis dalam huruf “Arab gundul” sehingga tak dicurigai
penjajah.
Kitab tafsir dan terjemahan Qur’an ini diberi nama Kitab
Faidhur-Rohman, tafsir pertama di Nusantara dalam bahasa Jawa dengan
aksara Arab. Kitab ini pula yang dihadiahkannya kepada Raden Adjeng
Kartini.
Ibu kita Kartini sebagai seorang Muslimah, dengan lingkungan keraton,
kejawen dan perkenalannya dengan orang-orang Barat, memberikan
komentarnya, “Selama ini Al-Fatihah gelap bagi saya. Saya tak
mengerti sedikitpun maknanya. Namun sejak hari ini ia menjadi
terang-benderang sampai kepada makna tersiratnya, sebab Romo Kyai telah
menerangkannya dalam bahasa Jawa yang saya pahami.”
Melalui terjemahan Kyai Sholeh Darat itulah RA Kartini menemukan ayat
yang amat menyentuh nuraninya di antaranya, “Orang-orang beriman
dibimbing Allah dari gelap menuju cahaya”. (Q.S. Al-Baqarah ayat 257).
Surat yang diterjemahkan Kyai Sholeh adalah mulai dari Surat Al-Fatihah sampai Surat Ibrahim (Surat ke -14 di dalam Al-Quran).
Kartini yang memang hobi membaca itu, membacanya secara serius, pada
setiap waktu. Namun sayangnya penerjemahan Kitab Faidhur-Rohman ini
tidak selesai sampai seluruh Al-Quran, karena Kyai Kiai Sholeh Darat
keburu wafat.
Kyai Sholeh telah membawa Kartini ke perjalanan transformasi
spiritual. Pandangan Kartini tentang kemajuan Barat pun berubah. Ini
juga dikemukakan oleh Teguh Setiawan dalam artikel “RA Kartini dan
Islam” (Republika, 1 April 2012).
Disebutkan bahwa pandangan Kartini itu tertuang dalam surat Kartini bertanggal 27 Oktober 1902 kepada Ny. Abendanon.
“Sudah lewat masanya, semula kami mengira masyarakat Eropa itu
benar-benar yang terbaik, tiada tara. Maafkan kami. Apakah ibu
menganggap masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa
di balik yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal yang sama
sekali tidak patut disebut peradaban.
Tidak sekali-kali kami hendak menjadikan murid-murid kami sebagai orang setengah Eropa, atau orang Jawa kebarat-baratan.
Dalam suratnya kepada Ny. Van Kol, tanggal 21 Juli 1902, Kartini juga menulis, “Saya
bertekad dan berupaya memperbaiki citra Islam, yang selama ini kerap
menjadi sasaran fitnah. Semoga kami mendapat rahmat, dapat bekerja
membuat agama lain memandang Islam sebagai agama yang disukai”.
Terakhir, dalam suratnya ke Abendanon, bertanggal 1 Agustus 1903, Kartini menulis, “Ingin benar saya menggunakan gelar tertinggi, yaitu Hamba Allah”.
Semangat perjuangan RA. Kartini bukan hanya dalam mengentaskan
keterkungkungan kaum perempuan pada masa penjajahan. Namun lebih dari
itu, adalah semangat spiritualnya dalam mengkaji dan menggali
nilai-nilai mulia kandungan Al-Quran.
Oleh: Ali Farkhan Tsani, Redaktur Senior Mi’raj Islamic News Agency (MINA)
Sumber: http://www.mirajnews.com